BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tarekat adalah salah satu bentuk kelanjutan usaha para sufi
terdahulu dalam menyebarluaskan tasawuf sesuai pemahamannya. Dalam ilmu tasawuf
disebut thuruqas sufiyah. Secara umum tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri kepada
Allah melalui persucian jiwa.Ajaran tasawuf
yang harus diamalkan dalam bimbingan seorang guru, itulah yang disebut Tarekat.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa tasawuf adalah seperangkat
ilmu mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah suatu sistem untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah
ilmu tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana
perkembangan tarekat Suhrawardiyah?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
matakuliah Akhlak mengenai Tarekat, sekaligus untuk memperluas wawasan
penyusunserta pembaca khususnya mengenai Tarekat. Semoga dengan
diselesaikannyamakalah ini dapat bermanfaat kepada para pembaca untuk menambah
pengetahuanagar bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, serta menambah
semangat umatmuslim untuk selalu mengeksplorasi serta meningkatkan ilmu
pengetahuanmengenai Akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal Sosok Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu
al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi,
lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal,
Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia
memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist,
al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul. Sebagaimana umumnya para
intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah
untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha
yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan
teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga
berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan
guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi. Pengembaraan ilmiahnya
kemudian berlanjut ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir
al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah
karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke
Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah
itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang”
tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya
menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari
teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus
mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani
hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola
hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan
sebagai seorang filosof sekaligus sufi. Perjalanannya berakhir di Aleppo,
Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia
dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya
Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan
pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam
usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun
demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti, hanya
menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang tragis ini
merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya yang berseberangan
dengan para tokoh pada masa itu.
B.
Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan
dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif
sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak
karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan
tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini,
Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima kategori sebagai berikut :
a. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq.
b. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
e. Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
`
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai
ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga
memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi
abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu
menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang
kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
C.
Ajaran Tarekat
Suhrawardiyah
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Wafa
al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah terdapat
pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak membicarakan tentang latihan rohani
praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran
dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1. Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
1. Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah
ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a. Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b. Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c. Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d. Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
a. Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b. Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c. Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d. Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2.
Faqr, yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak
akan sampai ke tujuan, kecuali jila ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an.
Seseorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr
hanyalah sekedar angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.
Dalam
hal ini ada beberapa golongan Faqr, yaitu :
a. Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b. Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c. Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah;
d. Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
a. Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b. Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c. Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah;
d. Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3.
Tawakkal, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak
(Allah), mempercayakan jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah
raja’ (harapan), sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah
hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir.
Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal
dalam anugerah Allah, keduatawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan
dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
4. Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
4. Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada
dua jenis mahabbah :
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat :
a. kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b. Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c. Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e. Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f. Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat :
a. kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b. Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c. Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e. Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f. Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2).
Mahabbah Khas, memiliki sifat :
a. Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b. Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c. Api yang memurnikan wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e. Benar-benar sumber murni;
f. Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
a. Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b. Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c. Api yang memurnikan wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e. Benar-benar sumber murni;
f. Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5.
Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah,
sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah
berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika,
sesudah fana’ mutlak.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a. Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d. Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e. Tersembunyinya segala sesuatu.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a. Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d. Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e. Tersembunyinya segala sesuatu.
Sementara
Baqa’ berarti :
1. Baqa’ dalam keselarasan;
2. Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3. Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4. Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5. Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
1. Baqa’ dalam keselarasan;
2. Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3. Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4. Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5. Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
6.Ridha, yaitu mengangkat dan menghilangkan kebencian
pada qodho dan qodar,dan memandang kepahitan dalam berbagai ketentuannya
sebagai terasa manis.
D.
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
a.
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia,
gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang berarti knowledge,
doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau
keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan dengan bidang
kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua
istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya
terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi
menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan
hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih
menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang
paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara
orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos. Dalam pemahaman Suhrawardi,
pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang
ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah.
Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah
‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah
pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran
filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu
mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa
melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
b.
Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung
pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara
rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai
simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq
yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya. Sebelum
menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn
Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga
posisi :
1.
posisi
akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi,
2.
sebagai
mumkin al-wujud lidhatihi, dan
3.
sebagai
mahiyah/zatnya sendiri.
Akal pertama, dengan memikirkan dirinya
sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan
memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm
al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah
menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu
seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam.
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori
baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan
akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya
keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin
al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal
memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan
menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi
akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat
banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada
jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam
teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi
cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang
merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa,
sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar
ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur
al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari
Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul
cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat
timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu
seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat penyinaran setiap
cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya
dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya,
sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur
al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya
sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu
cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di
atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat
diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya.
Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali
pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali
pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali
pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128
kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh
512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap
cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah
pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi
ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada
tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya
pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere
of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere
of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the
sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of
zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini
mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 35 berikut
ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi,
posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar
yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari
pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama
kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya
cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang
kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan
cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya
lahir.
Berdasarkan
pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling
tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
c.
Pengaruh Teosofi Suhrawardi
Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi
warisan yang ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan
yang mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki
mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini sebagai
kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu mempengaruhi
generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui karya-karya yang
muncul belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari adanya tanggapan
yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa komentar, sanggahan
ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri melalui aspek
geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan perdebatan
pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran Suhrawardi
berkembang di Persia lalu menyebar ke India-Pakistan, Syria, Anatolia, dan
bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran
Suhrawardi ini didukung oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah
kelahiran, faktor historis dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi
terhadap pengembangan intelektual di Persia.
Di India penyebaran pengaruh pemikiran
Suhrawardi berawal dari penerjemahan karya-karyanya, terutama karya
monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Sanskrit. Penyebaran ini juga ditopang oleh
perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar
terhadap pengembangan intelektual di India. Perhatian itu tidak hanya terbatas
pada penciptaan suasana yang kondusif tetapi juga penyediaan anggaran untuk
fasilitas pendidikan seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi
karya-karya filsafat terutama dari Ibn Sina, Nasir al-Din al-Tusi, dan Qut}b
al-Din al-Shirazi. Sebagaimana diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah
pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat diasumsikan bahwa
doktrin-doktrin hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para ilmuan
di India.
J ejak pemikiran
Suharawardi di Syria dan Anatolia dapat ditelusuri melalui koleksi-koleksi
manuskrip yang terdapat di perpustakaan Turki. Data-data
koleksi pustaka yang ada mengindikasikan bahwa pemikiran Suhrawardi juga
dipelajari oleh para sarjana Turki. Sementara itu, seperti sudah diketahui
bahwa dalam pengembaraan intelektualnya Suhrawardi pernah singgah di Syiria
untuk berdiskusi dan berdebat dengan para sahabatnya. Dari diskusi dan
perdebatan itu serta sejumlah karya yang ia selesaikan di Syria ikut membuka
peluang bagi dipelajarinya pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang
telah disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya kurang
mendapat perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti
Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya
Suhrawardi tidak diterjemahkan sehingga mereka tidak mengenal dengan baik
pemikiran teosofis Suhrawardi. Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat seperti
Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin mulai
melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting pasca
Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas
hubungan antara guru dan murid serta perdebatan pro kontra di sekitar
pemikirannya, pengaruh pemikiran Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya
tokoh-tokoh yang berusaha melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya, lahir komentator pemikiran
Suhrawardi seperti Shams al-Din Muhammad Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d bin
Mansur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada abad XIV muncul tokoh Qutb al-Din
al-Shirazi (w. 1311), pada abad XVI ada Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din
al-Dawwani (w. 1502) dan Ghiyath al-Din Mansur al-Shirazi (w. 1542), pada abad
XVII lahir tokoh Muhammad Sharif Niz}am al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din
al-Shirazi, pada abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi
Sabziwari (w. 1878), dan pada abad XX terdapat tokoh Muhammad Hussein
Tabattaba’i serta Seyyed Hossein Nasr.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarekat Suhrawardiyah merupakan tarekat yang
didirikan oleh Syihab Al-Din Abu Hafs Umar As-Suhrawardiyah dinisbahkan kepada
Dhiya al-Din Abu Najib As-Suhrawardi,berkembang pesat di India dan mungkin
sampai ke Indonesia lewat silsilah Al- Qusyasyi.
DAFTAR PUSTAKA
Akhlaq Tasawuf
http://hasywafa.wordpress.com/2010/08/29/materi-akhlaq-kelas-xii-agama-semester-1/
No comments:
Post a Comment