BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kerajaan
di Indonesia yang pertama berkembang di Indonesia yaitu kerajaan Hindu dan
Buddha sedangkan sistem perekonomian yang di gunakan pada waktu itu adalah
perdagangan, sehingga hubungan dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih
jauh seperti India, China dan wilayah Timur Tengah pun bisa terjalin. Pada
zaman kerajaan berkembang Agama Hindu lah yang pertama masuk ke Indonesia dengn
diperkirakan pada awal Tarikh Masehi dan terus berkembang sampai kerajaan-kerajaan
Islam bermunculan.
B. Rumusan masalah
·
Mengetahui Kerajaan Tulang Bawang
·
Mengetahui Kerajaan Kota Kapur
BAB II
PEMBAHASAN
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali.
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17. Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga
ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat
istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya,
penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi
dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi
bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah
berkembang.
Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang)
sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari
sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap
akan keberadaan daerah kerajaan ini.
Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan maritim tersebut.
Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan maritim tersebut.
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung
menyatakan pada suatu masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu
sudah terlanjur menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia
modern. Pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal
mula Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang
memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya hingga sekarang.
Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak peninggalannya perlu terus dilakukan.
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia...
di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera ini.
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.
Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang dimulyakan.
Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta raja.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak peninggalannya perlu terus dilakukan.
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia...
di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera ini.
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.
Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang dimulyakan.
Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta raja.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal
daratan Cina menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di
Tanah Chrise. Di mana di tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya
masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam
besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula yang dapat membuat gula
Aren yang bahannya dari pohon Aren.
Sewaktu pujangga Tionghoa I Tsing datang melawat dan
singgah melihat daerah Selapon, dari I Tsing inilah kemudian di sebut lahirnya
nama Tola P’o-Hwang. Sebutan Tola P’o-Hwang dari ejaan Sela-pon. Sedangkan
untuk mengejanya, kata Selapon ini di lidah I Tsing berbunyi So-la-po-un.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang
pendatang negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat
menyebutkan sebutan so, maka I Tsing mengejanya dengan sebutan to. Sehingga
kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang (Suara Pembangunan, 2005).
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang
mengungkapkan perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan
pada pertengahan abad ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien
(337-422) pernah melawat ke Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan
pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia justru terdampar dan singgah di
sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di
pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut menjelaskan akan
keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak menyebut di mana
persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.
Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai
penamaan Tulang Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan
Kerajaan Tulang Bawang yang hingga kini belum di dapat secara mutlak, baik
keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-peninggalannya, bahkan abad
berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama halnya dengan sipat
bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya. Semakin dicari
semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan tulangnya.
Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang
Bawang ini banyak musuh. Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat
pembuangan mayat ini di bawang atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah
mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai tinggal tumpukan tulang-tulang manusia
memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini, maka di sebut Sungai Tulang Bawang.
Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang
pertama sekitar abad ke IV masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan
bawang di sungai, yang sekarang di kenal dengan sebutan Way (Sungai) Tulang
Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah ini.
Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan
Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976).
Bila menggunakan pendapat Yamin, maka penamaan Tolang
P’o-Hwang akan berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari Lampung” yang datang
ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi. Yamin mengatakan, perbandingan
bahasa-bahasa Austronesia dapat memisahkan urat kata untuk menamai kesaktian
itu dengan nama asli, yaitu tu (to, tuh), yang hidup misalnya dalam kata-kata
tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-mbuhan dan lain-lain.
Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan
zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia,
maka baiklah pula diperhatikan bahwa urat itu terdapat dalam kata-kata seperti
to (orang dalam bahasa Toraja), tu (Makasar dan Bugis). Dengan demikian,
To-Lang P’o-Hwang berarti To= orang dan Lang P’o-Hwang= Lampung. Sejak itu,
orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan Lampung (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Lampung, 1977/1978).
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri
sekitar abad ke 4 masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama
bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan
Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan
Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di
kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.
Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar
bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di
negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri
Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum
beragama Islam.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou
Jadi digantikan oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang
Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9
masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan Minak
Tabu Gayaw.
Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota,
masing-masing bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak.
Tuan Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan hulubalang
Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah mempertahankan
wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah
daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).
Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah
perbatasan, seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang
Mersou, Gedung Aji, Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga
oleh para panglimanya guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari
luar maupun dalam negeri sendiri.
Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi)
terlihat benar susunan struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh
panglima-panglimanya. Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu
Tembus dan Minak Rajawali, dengan tugas pos pertahanan pertama dari laut.
Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota
Karang, dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk
pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung
Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih
Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.
Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan
keturunan raja Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan
wafat pada abad ke 16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam
di Lampung dan keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir
yang masih beragama Hindu.
Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala
Bumi mendalami ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur).
Lalu ia memperistri putri Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak
cucu dari keturunan mereka selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan Berirung.
Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang
Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang
dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan Rio
Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam para
panglima yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang
Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan
tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan
sekitar abad ke 4 dan 5 masehi (Sumber: Drs. Dafryus FA, Menggala, 2009).
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat
Kerajaan Tulang Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan,
pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala
dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota
kabupaten, Kota Menggala.
Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan
kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat,
pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung
Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang
sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat,
pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.
Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar
tahun 1960 terjadi peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung
Pagardewa bernama Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah
‘petunjuk’ akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat
pemerintahannya belum juga ditemukan secara pasti.
Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan.
Kemudian ia ‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat
tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk dan
dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu, dilihatnya ada kursi
kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya. (Hi. Assa’ih Akip,
1976 dan Hermani, SP, Pagardewa, 2009).
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad
ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari
kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa
pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di
darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan
kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para
ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa.
Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah
dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai
timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o
Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi
sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya
yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas,
sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan
sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan
federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang
(Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat
kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke
Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan
menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi,
nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal
dengan nama Lampung.
C.
KERAJAAN KOTA
KAPUR
Kerajaan kota kapur adalah kerajaan di mana sejarah terbentukya kerajaan
sriwijaya atau lebih tepatnnya bibit dari kerajaan sriwijaya yang sudah berada
di pulau Bangka dengan bukti bukti seperti arca durga mahisasramardhani
lokasi kerajaan
kota kapur ?
lokasi kerajaan kota berada di pulau sumatra lebih tepatnya di
bangka
Apa
bukti kerajaan kota kapur memang ada ?
. Jika dilihat dai hasil temuan
dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, yaitu
pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai kemungkinan adanya
sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa sebelum kemunculan
Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut
meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan
candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di
antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu
yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa
Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah
ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608
Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu
di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari
peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka
pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara
di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur
ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah
tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar
350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari
tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng
pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut
agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka
menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini
ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka
tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya
wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya
berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur
pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka
oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau
Bangka.
Raja
yang memimpin di kerajaan kota kapur
Raja yang memipin di kerajaan kota kapur masih belum di ketahui secara
pasti bahkan di situs prasasti kota kapur tidak di jelaskan mengenai raja
kerajaan kota kapur
Berikut ini terjemahan
isi prasasti kota kapur versi Slamet Muljana :
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi, bagaimana nasib Kayet yang membunuh itu? Juga Kayet berhasi ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu!
Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kerajaan Sriwijaya! Dan kau, Tandrun Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Jika pada saat manapun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas! Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila, mlakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka yang membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada yang kuserahi kekuasan datu, mereka yang berbuat demikian itu, mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah ini.
Tetapi kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah rezeki segenap penduduk dusunnya.
Penyebab
runtuhnya kerajaan kota kapur
karena
terjadinya perbedaan keyakinan didalam istana sehingga mmbuat kluarga kerajaan
trpecah mnjadi 2 bagian.. yg brbeda pndapat
kapan kerajaan
kota kapur mengalami keruntuhan
runtuhnya kerajaan kota kapur tidak di ketahui secara jelas dan masih menjadi sebuah misteri dan para peneliti masih melakukan penelitian ini di Bangka Sumatra
runtuhnya kerajaan kota kapur tidak di ketahui secara jelas dan masih menjadi sebuah misteri dan para peneliti masih melakukan penelitian ini di Bangka Sumatra
Bagaimana Tradisi Asia Tenggara
di Kota Kapur
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi
lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan
sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di
sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan
kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke
tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti
dari Wangsa
Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh
wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.
Setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus
sebagai Daerah Tingkat
II Buleleng
Nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La
P’o-Hwang) sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci
menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal
daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini.
- See more at: http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-lampung.html#sthash.ikB3oVkd.dpuf
- See more at: http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-lampung.html#sthash.ikB3oVkd.dpuf
kerajaan
kota kapur terletak di Bangka Sumatra rajaraja nya masih belum di ketahuai
serta masih banyak sekali hal yang masih belum di ketahui tentang kerajaan kota
kapur
SARAN
Dari keberadaanya kerajaan kota
di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa
syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang
tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan
memelihara budaya nenek moyang kita.
DAFTAR PUSTAKA
http://putra-lampung.blogspot.com/2012/08/kerajaan-tulang-bawang.html
#sthash.xdwpZgSo.dpuf
Mantap
ReplyDeleteAssalamualaikum... semangat ya mengamalkan ilmunya
Delete