Monday, 25 January 2016

Kerajaan Buleleng




BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kerajaan di Indonesia yang pertama berkembang di Indonesia yaitu kerajaan Hindu dan Buddha sedangkan sistem perekonomian yang di gunakan pada waktu itu adalah perdagangan, sehingga hubungan dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, China dan wilayah Timur Tengah pun bisa terjalin. Pada zaman kerajaan berkembang Agama Hindu lah yang pertama masuk ke Indonesia dengn diperkirakan pada awal Tarikh Masehi dan terus berkembang sampai kerajaan-kerajaan Islam           bermunculan.

B.     Rumusan masalah
·         Mengetahui Kerajaan Tulang Bawang
·         Mengetahui Kerajaan Kota Kapur






















BAB II
PEMBAHASAN
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.



Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini.

Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan maritim tersebut.
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada suatu masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya hingga       sekarang.


Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak peninggalannya perlu terus dilakukan.

Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia...
di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera     ini.

Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji.

Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala       Brak.

Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon.

Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh   sungai.

Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang   dimulyakan.

Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta   raja.

Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula yang dapat membuat gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.

Sewaktu pujangga Tionghoa I Tsing datang melawat dan singgah melihat daerah Selapon, dari I Tsing inilah kemudian di sebut lahirnya nama Tola P’o-Hwang. Sebutan Tola P’o-Hwang dari ejaan Sela-pon. Sedangkan untuk mengejanya, kata Selapon ini di lidah I Tsing berbunyi So-la-po-un.

Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat menyebutkan sebutan so, maka I Tsing mengejanya dengan sebutan to. Sehingga kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang (Suara Pembangunan, 2005).

Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah melawat ke Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut menjelaskan akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak menyebut di mana persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.

Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang Bawang yang hingga kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya. Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan tulangnya.

Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak musuh. Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat ini di bawang atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai tinggal tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini, maka di sebut Sungai Tulang Bawang.

Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di kenal dengan sebutan Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976).

Bila menggunakan pendapat Yamin, maka penamaan Tolang P’o-Hwang akan berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari Lampung” yang datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi. Yamin mengatakan, perbandingan bahasa-bahasa Austronesia dapat memisahkan urat kata untuk menamai kesaktian itu dengan nama asli, yaitu tu (to, tuh), yang hidup misalnya dalam kata-kata tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-mbuhan dan lain-lain.

Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia, maka baiklah pula diperhatikan bahwa urat itu terdapat dalam kata-kata seperti to (orang dalam bahasa Toraja), tu (Makasar dan Bugis). Dengan demikian, To-Lang P’o-Hwang berarti To= orang dan Lang P’o-Hwang= Lampung. Sejak itu, orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan Lampung (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lampung, 1977/1978).

Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.

Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum beragama Islam.

Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.

Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota, masing-masing bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan hulubalang Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah mempertahankan wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).

Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan, seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji, Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga oleh para panglimanya guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri sendiri.

Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh panglima-panglimanya. Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan tugas pos pertahanan pertama dari laut.

Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang, dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.

Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke 16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih beragama Hindu.

Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia memperistri putri Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak cucu dari keturunan mereka selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan Berirung.

Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam para panglima yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 masehi (Sumber: Drs. Dafryus FA, Menggala, 2009).

Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala.

Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.

Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960 terjadi peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung Pagardewa bernama Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’ akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum juga ditemukan secara pasti.

Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia ‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk dan dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu, dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya. (Hi. Assa’ih Akip, 1976 dan Hermani, SP, Pagardewa, 2009).

Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.

Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.

Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.

Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.

C.    KERAJAAN KOTA KAPUR

Kerajaan kota kapur adalah kerajaan di mana sejarah terbentukya kerajaan sriwijaya atau lebih tepatnnya bibit dari kerajaan sriwijaya yang sudah berada di pulau Bangka dengan bukti bukti seperti arca durga mahisasramardhani

lokasi kerajaan kota kapur  ?
     
            lokasi kerajaan kota  berada di pulau sumatra lebih  tepatnya di bangka


      Apa bukti kerajaan kota kapur memang ada  ?
. Jika dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.


Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.

Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.

Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.


      Raja yang memimpin di kerajaan kota kapur

                 Raja yang memipin di kerajaan kota kapur masih belum di ketahui secara pasti bahkan di situs prasasti kota kapur tidak di jelaskan mengenai raja kerajaan kota kapur
Berikut ini terjemahan isi prasasti kota kapur versi Slamet Muljana :

Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi, bagaimana nasib Kayet yang membunuh itu? Juga Kayet berhasi ditumpas. Ingatlah akan kemenangan        itu!

Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kerajaan Sriwijaya! Dan kau, Tandrun Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Jika pada saat manapun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas! Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila, mlakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka yang membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada yang kuserahi kekuasan datu, mereka yang berbuat demikian itu, mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah    ini.

Tetapi kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah rezeki segenap penduduk dusunnya.
Penyebab runtuhnya kerajaan kota kapur  

karena terjadinya perbedaan keyakinan didalam istana sehingga mmbuat kluarga kerajaan trpecah mnjadi 2 bagian.. yg brbeda pndapat

kapan kerajaan kota kapur mengalami      keruntuhan
             runtuhnya kerajaan kota kapur tidak di ketahui secara jelas dan masih menjadi sebuah misteri dan para peneliti masih melakukan penelitian ini di Bangka Sumatra

Bagaimana Tradisi Asia Tenggara di Kota Kapur
                Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug            technique).

Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.

Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung   Timur).

Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi         Banyuasin).

Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15            Masehi.

Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah
.















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus sebagai Daerah Tingkat II Buleleng
Nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini.
- See more at: http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-lampung.html#sthash.ikB3oVkd.dpuf
kerajaan kota kapur terletak di Bangka Sumatra rajaraja nya masih belum di ketahuai serta masih banyak sekali hal yang masih belum di ketahui tentang kerajaan kota kapur 
SARAN
 Dari keberadaanya kerajaan kota  di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara budaya nenek moyang kita.










DAFTAR PUSTAKA
http://putra-lampung.blogspot.com/2012/08/kerajaan-tulang-bawang.html #sthash.xdwpZgSo.dpuf

2 comments:

Lebih banyak lagi tentang makalah dan tugas sekolah untuk SMA, SMK, MAN, SMP, MTs
silahkan menuju gudang makalah
klik >>> disini